Bu Djoko remaja menyelesaikan pendidikan HBS di tahun 30-an dan kemudian lulus Sekolah Guru Belanda atau Europese Kweekschool. Dengan tekad yang kuat ia meninggalkan kampung halaman untuk merantau ke Jakarta. Dan berhasil masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan menumpang di rumah pamannya di Menteng. Kemudian jalan hidup membawa berkenalan dengan Djokosoetono, dosen yang mengajarnya, yang juga pendiri serta Guberbur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Laki-laki itulah yang menikahinya selagi Bu Dkoko masih kuliah. Hingga dikaruniai 3 anak yaitu Chandra Suharto, Mintarsih Lestiani, dan Purnomo Prawiro. Sepanjang dasawarsa 50-an, Bu Djoko bersama keluarga melewatkan kehidupan yang sangat sederhana. Setelah lulus dari FHUI tahun 1952 dan langsung bekerja sebagai dosen di FHUI dan PTIK. Mereka kemudian menempati rumah dinas atas pekerjaan suaminya di jalan HOS Cokroaminoto Nomor 107, Menteng. Mereka dikepung oleh lingkungan yang mewah dan orang-orang dengan kemapanan materi di atas rata-rata. Sementara keluarga Djokosoetono praktis hanya memiliki uang kebutuhan berjalan. Untuk menambah penghasilan keluarga, Bu Djoko berjualan batik door to door. Tak ada gengsi, tak ada malu, tak ada rasa takut direndahkan oleh sesama isteri pejabat tinggi. Semuanya dilakukan murni sebagai kepedulian isteri untuk membantu suami mencari nafkah.
Namun penjualan batik yang sempat sukses kemudian menurun. Hingga Bu Djoko beralih kemudi berusaha telur di depan rumahnya. Realita berjualan telur menjadi pilihan bisnis yang brilian masa itu. Saat itu telur belum sepopuler sekarang. Masih dianggap bahan makanan ekslusif yang hanya dikonsumsi orang-orang menengah ke atas. Dengan lincah Bu Djoko mencari pemasok telur terbaik di Kebumen. Perlahan-lahan usaha telur Bu Djoko dan keluarga terus meningkat. Kegembiraan akan keberhasilan usaha menjadi berkabut lantaran kesedihan memikirkan sakit Pak Djoko meski pemerintah memberikan bantuan penuh untuk biaya perawatan Pak Djoko. Meski demikian, penyakit Pak Djoko tak kunjung sembuh, sampai akhirnya pada tanggal 6 September 1965 beliau wafat. Tak berapa lama setelah kepergian Pak Djoko, PTIK dan PTHM memberi kabar yang cukup menghibur keluarga. Mereka mendapatkan dua buah mobil bekas, sedan Opel dan Mercedes. Disinilah embrio lahirnya Taksi Blue Bird.
Inilah fase yang penting dalam sejarah kelahiran Blue Bird. Yakni ketika Bu Djoko menatap memulai bisnis taksi dalam rancangan idealisme yang ia buat. Walau bermodal dua mobil saja, tapi visinya sudah jauh ke depan. Dibantu ketiga anak dan menantu maka dimulailah usaha taksi gelap Bu Djoko. Uniknya usaha taksi terebut menggunakan penentuan tarif sistem meter yang kala itu belum ada di Jakarta. Untuk order taksi, ia menggunakan nomor telefon rumahnya. Karena Chandra ditugaskan menerima telepon dari pelanggan maka orang-orang menamakan taksi itu sebagai Taksi Chandra. Taksi Chandra yang hanya dua sedan itu kemudian melesat popular di lingkungan Menteng karena pelayanan yang luar biasa. Order muncul tanpa henti. Dari hasil keuntungan saat itu, BU Djoko bisa membeli mobil lagi. Kombinasi antara Bu Djoko yang berdisiplin tinggi dan penuh passion dalam menjalankan usahanya berpadu harmonis dengan pembawaan Chandra yang cermat dan tenang. Semua problem dalam menjalani usaha taksi dibawa dalam rapat keluarga untuk dicari solusinya.
Permintaan akan Taksi Chandra terus mengalir. Usaha yang semula ditujukan untuk menjaga kestabilan ekonomi keluarga, kemudian berkembang menjadi bisnis yang amat serius. Beberapa mobil yang telah dimiliki dirasa kurang mencukupi. Titik layanan kian melebar, tak hanya di daerah Menteng, tebet, Kabayoran Baru dan wilayah-wilayah di Jakarta Pusat, tapi juga sampai ke Jakarta Timur, Barat dan Utara. Di era akhir dlamiah keluarga Bu Djoko tengah mempersiapkan asawarsa 60-an secara alamiah memasuki babak baru yang sangat penting. Sebuah fase dimana kehidupan berbisnis tidak lagi sekedar “aktivitas keluarga” untuk emnambah rezeki. Pada tahun-tahun menjelang 1970 relaita membuktikan bahwa mereka mampu memebsarkan armada dan mendulang keuntungan yang signifikan. Mereka bisa menambah jumlah mobil sendiri lebih dari 60 buah.
Bu Djoko tidak berminat bergabung. Ia lebih berpikir untuk mencari jalan bagi kemandirian bisnisnya. Tak ada jalan lain untuk menghubungi Bank. Yang terjadi kemudiana dalah sentuhan invicible hand yang bekerja dalam memudahkan Bu Djoko mendapat pinjaman Bank. Mantan murid suaminya dengan cepat membantu memuluskan proses di Bank dan pinjaman pun mengalir.Bagi Bu Djoko suatu yang sangat luar biasa. Di atas kertas sulit mendapatkan dana yang mencukupi untuk membeli 100 mobil. Tapi saat itu dia bisa! Di tahun itu pula Bu Djoko dan anak-anaknya bersiap mencari nama dan logo taksi. Taksi Chandra tetap dijalankan sebagai taksi per jam atau hourly. Sementara taksi baru di bawah PT Sewindu Taxi segera disiapkan namanya. Ide lagi-lagi datang dari Bu Djoko, hingga diberilah nama taksi Blue Bird. Dengan logo sederhana berupa siluet burung berwarna biru tua yang sedang melesat, hasil karya pematung Hartono. Logo itu seperti pencapaian yang membuktikan bahwa ia mampu menghidupkan cita-cita yang diteladankan kisah The Bird of Happiness.
Pada tanggal 1 Mei 1972, jalan-jalan di Jakarta mulai diwarnai taksi-taksi berwarna biru dengan logo burung yang tengah melesat. Taksi itu mencerminkan semangat jerih dan idealisme yang dikobarkan Bu Djoko. Bersama tim di PT. Sewindu Taxi, Ournomo pun mantap menjalankan tugas operasional perusahaan. Bisa dikatakan tahun-tahun 70-an merupakan masa penggodokan idealisme Blue Bird. Dalam kesederhanaan Bu Djoko memimpin perjalanan besar membawa Blue Bird siap mengarungi zaman. Dia menanamkan kepada awak angkutan bagaimana menumbuhkan sense of belonging yang tinggi terhadap Blue Bird dengan menjadi "serdadu-serdadu" tangguh dan penuh pengorbanan. Mereka menikmati masa-masa sangat bersahaja dimana teknologi sama sekali belum menyentuh Blue Bird. Di paruh kedua dasawarsa 70-an, kekuatan armada Blue Bird telah bertambah menjadi sekitar 200 lebih taksi. Pengelolaan yang sangat rapid an manajemen keluarga yangs ehat memungkinkan PT. Sewindu Taxi yang menaungi Blue Bird menambah armadanya. Mobil-mobil tersebut ditempatkan di dua pool yanga da, di jalan Garuda, Kemayoran dan di jalan Mampang Prapatan. Purnomo dipercaya untuk memimpin Blue Bird sebagai ditektur operasional, setelah sang kakak Chandra fokus di PTIK.
Setelah melewati tahun-tahun yang berat dalam menegakkan idealism di era 70-an, dasawarsa selanjutnya mulai disinari optimism yang lebih kuat. Nilai-nilai dan prinsip Blue Bird yang ditancapkan Bu Djoko telah berakar dan menghasilkan batang serta dahan yang sehat. Memasuki dasawarsa 80-an, Purnomo, Mintarsih dan Bu DJoko semakin memperkuat kekompakan. Chandra kadang-kadang ikut dalam diskusi selepas kesibukannya di PTIK. Sisa masalah dari tahun-tahun sebelumnya masih menjadi momok dan beberapa masalah krusial. Tapi Purnomo yang sudah dimatangkanoleh pengalaman era 70-an sudah jauh lebih percaya diri untuk menghadapi kesulitan di lapangan. Purnomo melewatkan tahun-tahun awal di dasawarsa 80-an dengan kerja uang luar biasa keras. Setelah 8 tahun bisa bertahan, wajah bisnis ini terlihat sangat jelas. Blue Bird bisa mengukur diri apakah mampu melanjutkan perjalanan atau tidak. Bu Djoko dan ketiga anaknya bertekad maju terus.
Kemajuan demi kemajuan tak terbendung lagi di tubuh Blue Bird. Manajemen yang rapi, idelisme yang dijaga ketat, pengaturan finansial yang sangat matang dan strategi ekspansi yang arif, membuat langkah kemajuan Blue Bird begitu tertata dan sangat cantik. Perpaduan antara kekuatan karisma Bu Djoko, agresivitas dan kreativitas Purnomo, serta ketenangan strategi Chandra membuat Blue Bird di era 90-an menunjukkan perkembangan yang sehat. Faktor yang mempengaruhi kemajuan Blue Bird di era ini, tak pelak adalah kemajuan persepsi masyarakat. Sungguh tepat prediksi Bu Djoko tentang perusahaan taksi masa depan. Bahwa kelak di kemudian ahri, masyarakat akan mencari, membutuhkan, dan fanatic pada taksi yang teruji kualitas pelayanannya, aman, prima dan nayaman. Argometer yang dulu ajdi momok dan dianggap sebagai “mimpi di siang bolong” ternyata tak terbukti. Justru argometer yang dipakai Blue Bird menjadi standar paling fair yang dicari penumpang.
Inilah catatan penting dari perjuangan Bu Djoko dalam membidik sukses masa depan: kesabaran, teguh dalam prinsip, kepemimpinan yang tegas dan bijaksana serta profesionalisme. Setelah perjauangan berat di era 70-an dan 80-an, maka era 90-an memberikan Blue Bird Group manis buah yang manis. Perkembangan asset adalah hal yang paling menonjol jika membicarakan kemajuan Blue Bird di era 90-an. Jumlah taksi sebelum krismon mencapai hampir 5.000 mobil. Jumlah pool terus bertambah. Blue Bird pun berkembang di sejumlah Provinsi. Generasi 90-an akhirnya ikut merasakan bagaimana tegak di tengah kepungan terror pihak yang tak suka akan kehadiran Blue Bird. Sebuah inovasi baru juga dilakukan Blue Bird Group melalui peluncuran Silver Bird, executive taxi pada tahun 1993.
Tanggal 1 Mei 1997, Blue Bird juga meresmikan kelahiran Pusaka Group yang diniatkan menjadi generasi yang lebih segar dan dinamis dari armada taksi yang sudah ada. Hadirnya Pusaka Group yang menggulirkan taksi Cendrawasih dan Pusaka Nuri pada awalnya merupakan cita-cita Blue Bird untuk melahirkan generasi baru Blue Bird yang lebih modern. Sebagai perusahaan konservatif, Blue Bird sangat berhati-hati meluncurkan bisnis baru yang belum bisa dijamin nasib masa depannya. Maka mantaplah kemudian dilahirkan Pusaka Group sebagai anak perusahaan yang lebih dinamis, tidak konservatif, agresif bergerak di daerah dan dikelola murni oleh keluarga Bu Djoko. Pusaka Group ternyata menunjukkan keberhasilannya. Selanjutnya didirikan Golden Bird yang beroperasi di Bali. Diikuti daerah-daerah lain seperti Surabaya, Bandung, Manado, Medan, Palembang, dan Lombok.
Di dasawarsa 90-an kesehatan Bu Djoko merosot akibat serangan kanker paru-paru. Sosoknya bersemangat tak merasa tersudutkan oleh penyakitnya. Sambil terus memimpin perusahaannya, Bu Djoko menyediakan banyak waktu, perhatian dan tenaga untuk menyembuhkan penyakitnya. Tapi kanker paru-paru yang ddideritanya terlalu buas untuk tubuhnya yang semakin menua. Pada tanggal 10 Juni tahun 2000 ia menutup mata di RS Medistra. Sang Burung Biru itu telah pergi. Tapi ia meninggalkan sesuatu yang tak pernah terhapus waktu. Semangat murninya tidak hanya tersimpan di ahti anak-anak dan cucunya, tapi juga mengalir di segenap batin puluhan ribu karyawannya, mengudara di gedung-gedung dan pool Blue Bird dan melesat bersma taksi-taksi Blue Bird yang melintas di jalan-jalan. Blue Bird di era Millenium bagaikan burung yang terbang tinggi, melebarkan kepak sayapnya dan merambah cakrawala luas. Kehadiran para cucu, emningkatnya pengalaman Chandra dan Purnomo dan semangkin tingginya jam terbang karyawan membuat perusahaan ini terbaik di bidangnya. Pada dasawarsa keempat Blue Bird berjuang melintasi era teknologi canggih dan berusaha luwes.
Sumber : Kolom-Biografi
Ditulis Oleh : Unknown ~ Informasi Online ~
Anda Sedang Membaca Artikel Tentang "Ny. Mutiara Djokosoetono - Pendiri Taksi Blue Bird" Diposting Oleh Unknown pada hari Selasa, 18 November 2014. Saran dan Kritik Dapat Anda Sampaikan Lewat FORMULIR KONTAK di sebelah kanan, Terimakasih atas kunjungannya,Semoga Bermanfaat... "SALAM SUKSES DARI KAMI...!"
0komentar:
Posting Komentar